Alhamdulillah, saat ini kita telah menginjak bulan Sya’ban. Sebentar lagi kita akan memasuki bulan penuh kemuliaan, bulan Al Qur’an, yaitu bulan Ramadhan. Di antara amalan yang disunnahkan di bulan Sya’ban adalah memperbanyak puasa sunnah. Namun yang masih memiliki utang puasa selama beberapa hari lebih utama baginya untuk menunaikan qodho puasa karena sempitnya kesempatan untuk menunaikan utang tersebut.
Qodho Ramadhan Wajib Ditunaikan
Sebagian orang sering menganggap remeh penunaian qodho puasa ini. Sampai-sampai bertahun-tahun utang puasanya menumpuk karena rasa malas untuk menunaikannya, padahal ia mampu. Berbeda halnya jika ia tidak mampu karena mungkin dalam kondisi hamil atau menyusui bertahun-tahun sehingga ia mesti menunaikan utang puasa pada dua atau tiga tahun berikutnya. Yang terakhir memang ada udzur. Namun yang kita permasalahkan adalah yang dalam keadaan sehat dan mampu tunaikan qodho puasa.
Qodho puasa tetap wajib ditunaikan berdasarkan firman Allah Ta’ala,
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185). Juga berdasarkan hadits dari ‘Aisyah,
كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ.
“Kami dulu mengalami haidh. Kami diperintahkan untuk mengqodho puasa dan kami tidak diperintahkan untuk mengqodho’ shalat.” (HR. Muslim no. 335). Oleh karenanya, bagi yang dahulunya haidh atau alasan lainnya dan belum melunasi utang puasanya sampai saat ini selama bertahun-tahun, maka segeralah tunaikan. Jangan sampai menunda-nunda.
Mengakhirkan Qodho Ramadhan Hingga Ramadhan Berikutnya
Sebagian ulama mengatakan bahwa bagi orang yang sengaja mengakhirkan qodho’ Ramadhan hingga Ramadhan berikutnya, maka dia cukup mengqodho’ puasa tersebut disertai dengan taubat. Pendapat ini adalah pendapat Abu Hanifah dan Ibnu Hazm.
Namun, Imam Malik dan Imam Asy Syafi’i mengatakan bahwa jika dia meninggalkan qodho’ puasa dengan sengaja, maka di samping mengqodho’ puasa, dia juga memiliki kewajiban memberi makan orang miskin bagi setiap hari yang belum diqodho’. Pendapat inilah yang lebih kuat sebagaimana difatwakan oleh beberapa sahabat seperti Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma.
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baz rahimahullah pernah diajukan pertanyaan, “Apa hukum seseorang yang meninggalkan qodho’ puasa Ramadhan hingga masuk Ramadhan berikutnya dan dia tidak memiliki udzur untuk menunaikan qodho’ tersebut. Apakah cukup baginya bertaubat dan menunaikan qodho’ atau dia memiliki kewajiban kafaroh?”
Syaikh Ibnu Baz menjawab, “Dia wajib bertaubat kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan dia wajib memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan disertai dengan qodho’ puasanya. Ukuran makanan untuk orang miskin adalah setengah sha’ Nabawi dari makanan pokok negeri tersebut (kurma, gandum, beras atau semacamnya) dan ukurannya adalah sekitar 1,5 kg sebagai ukuran pendekatan. Dan tidak ada kafaroh (tebusan) selain itu. Hal inilah yang difatwakan oleh beberapa sahabat radhiyallahu ‘anhum seperti Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Namun apabila dia menunda qodho’nya karena ada udzur seperti sakit atau bersafar, atau pada wanita karena hamil atau menyusui dan sulit untuk berpuasa, maka tidak ada kewajiban bagi mereka selain mengqodho’ puasanya.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, no. 15 hal. 347, Mawqi’ Al Ifta’)
Kesimpulan: Bagi seseorang yang dengan sengaja menunda qodho’ puasa Ramadhan hingga Ramadhan berikutnya, maka dia memiliki kewajiban: (1) Bertaubat kepada Allah, (2) mengqodho’ puasa, dan (3) wajib memberi makan (fidyah) kepada orang miskin sebesar setengah sho’ (1,5 kg), bagi setiap hari puasa yang belum ia qodho’. Sedangkan untuk orang yang memiliki udzur (seperti karena sakit), sehingga dia menunda qodho’ Ramadhan hingga Ramadhan berikutnya (atau hingga bertahun-tahun karena ia terhalang hamil dan menyusui), maka dia tidak memiliki kewajiban kecuali mengqodho’ puasanya saja di saat ia mampu.
Qodho Ramadhan Tidak Mesti Berturut-turut
Sebagaimana disebutkan dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah (terbitan kementrian agama Kuwait), menurut pendapat jumhur (mayoritas ulama), tidak disyaratkan berturut-turut ketika menunaikan qodho puasa. Alasannya karena keumuman ayat,
فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
” … maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain“. Jadi boleh saja mengqodho sebagian puasa di bulan Syawal, sebagiannya lagi di bulan Dzulhijjah, dan sebagiannya sebelum Ramadhan yaitu di bulan Rajab dan Sya’ban. Artinya, ada keluasan dalam hal ini.
Segera Tunaikan Qodho’ Puasa
Jangan sampai menunda-nunda lagi. Yang mampu dilakukan saat ini, segeralah dilakukan apalagi itu kebaikan. Allah Ta’ala berfirman,
أُولَئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ
“Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya.” (QS. Al Mu’minun: 61)
Wallahu waliyyut taufiq.
—
Shubuh hari di Panggang-Gunung Kidul, 3 Sya’ban 1432 H (05/07/2011)
www.rumaysho.com
Artikel asli: https://rumaysho.com/1845-segera-tunaikan-qodho-puasa.html